Jakarta, AMNN.co.id – Kepala Biro Hubungan Masyarakat (Karo Humas) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Harison Mocodompis, memberikan klarifikasi terkait polemik penerbitan Hak Guna Bangunan (HGB) di kawasan Pagar Laut, Tangerang. Tanggapan tersebut disampaikan dalam diskusi di acara Indonesia Lawyers Club (ILC) yang digelar di JS Luwansa Hotel, Jakarta, pada Rabu (22/01/2025) malam.
Harison menjelaskan bahwa proses verifikasi terkait penerbitan sertifikat HGB di kawasan tersebut masih berlangsung. Kementerian ATR/BPN tengah bekerja sama dengan Badan Informasi Geospasial (BIG) untuk memastikan tidak ada tumpang tindih pada peta tematik, terutama mengenai batas garis pantai.
“Kami pastikan bahwa penerbitan HGB dilakukan dengan hati-hati dan sesuai prosedur yang berlaku. Proses ini mengikuti Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yang kemudian diperbarui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021. Ada dua aspek penting yang harus dipenuhi, yaitu penguasaan fisik dan penguasaan yuridis,” ujar Harison.
Ia menambahkan, jika terdapat kesalahan administrasi dalam proses pendaftaran tanah, sertifikat dapat dibatalkan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 21 Tahun 2020. Sertifikat yang diterbitkan dalam waktu kurang dari lima tahun dapat dibatalkan melalui prosedur administrasi, sementara yang lebih dari lima tahun harus melalui pengadilan.
Harison juga menekankan pentingnya tata kelola pendaftaran tanah yang baik untuk memastikan setiap produk hukum, termasuk HGB, bebas dari cacat administrasi. Ia mencontohkan kasus pembatalan sertifikat atas 263 bidang tanah di kawasan Kohod, Paku Haji, yang memerlukan prosedur yang tepat agar tidak menimbulkan masalah hukum di masa depan.
Terkait polemik ini, Harison mengapresiasi partisipasi masyarakat. Menurutnya, kerja sama antara pemerintah dan masyarakat sangat penting untuk menjaga transparansi dan akurasi dalam proses pendaftaran tanah.
“Untuk mendukung transparansi, Kementerian ATR/BPN terus berupaya meningkatkan digitalisasi layanan, seperti melalui aplikasi Bhumi ATR/BPN dan Sentuh Tanahku. Melalui aplikasi tersebut, masyarakat dapat mengakses informasi mengenai tanah dengan lebih mudah dan terbuka,” tambah Harison.
Polemik ini diharapkan dapat segera menemukan solusi yang adil dan transparan melalui proses hukum yang tepat, demi terciptanya tata kelola agraria yang berintegritas. (PUTRI)